Shiffin merupakan sebuah wilayah berada di antara Kufah dan Syam. Di tempat itulah terjadi pertempuran antara pendukung Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Banyak pihak yang masih menilai bahwa perang tersebut disebabkan perebutan kekuasaan antara kedua sahabat muliya itu. Padahal kalau merujuk kembali sejarah yang ditulis para ulama, prasangka buruk tidaklah benar. Dan yang tidak pula kalah pentingnya, bahwa sebenarnya kadua sahabat tersebut beserta mayoritas umat Islam yang hidup di masa itu sama sakali tidak menginginkan pertumpahan darah, pengikut Abdullah bin Saba’ lah yang sebenarnya menjadi pemantiknya. Untuk mengetahui lebih detail mengenai persoalan itu, silahkan menyimak.
Dari Dendam terhadap Muawiyah Bermula
Peristiwa perang Shiffin tidak berdiri sendiri, dendam lama pengikut
Abdullah bin Saba’ terhadap Muawiyah adalah faktor yang cukup
menentukan.
Gerakan makar yang dilakukan Abdullah bin Saba’ beserta pendukungnya
sudah terjadi sejak zaman Khalifah Utsman. Gerakan khas yang banyak
mereka lakukan adalah menjelek-jelekkan citra pejabat negara, dan
menyebarkannya di tengah-tengah rakyat, hingga mereka tidak munyukai
para pemimpin mereka. Amru bin Ash, gubernur Mesir adalah sasaran
pertama, hingga beliau diturunkan dari jabatannya. Selanjutnya,
”kelompok Mesir” mengajak para pendukungnya yang sudah tersebar di Syam,
Kufah dan Bashrah untuk melawan gubernur mereka, tapi hanya ”kelompok
Kufah yang bangkit, hingga Said bin Ash, pun turun dari jabatannya.
Selanjutnya, dari Kufah bergeser menuju Mawiyah yang berada di Syam.
Akan tetapi, upaya mereka untuk menjatuhkan Muawiyah tidak mampu mereka
laksanakan, dan beliau tetap memimpin wilayah Syam walau selanjutnya
mereka berhasil membunuh Khalifah Utsman.
Muawiyah telah menjabat sebagai gubernur di Syam sejak masa Khalifah
Umar bin Al Khattab. Di masa Utsman menjadi khalifah, Muawiyah tetap
menjadi gubernur wilayah itu. Keadaan ini tetap berlangsung hingga Ali
bin Abi Thalib dibaiat penduduk Madinah, tidak lama setelah Ustman
terbunuh oleh kelompok Saba’iyah (pengikut Abdullah bin Saba’).
Posisi Gubernur Muawiyah terjaga dari gerakan ”makar Sabaiyah”
disebabkan ada beberapa hal yang mendukung, yakni, bahwa di wilayah itu
banyak tinggal para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
(SAW), seperti Muadz bin Jabal, Ubadah bin As Shamit, Abu Darda, Abu
Siad Al Khudri, Syadad bin Aus, Nu’man bin Bashir, Fudhalah bin Ubaid
dan yang lainnya. Dengan demikian, penduduk Syam lebih mudah memperoleh
pemahaman Islam yang baik, di bawah bimbingan para sahabat tersebut,
sehingga tidak mudah terpengaruh oleh hasutan Khawarij Saba’iyah. Selain
itu, kedekatan Muawiyah dengan rakyat Syam juga mempersulit gerakan
makar ini.Apalagi Muawiyah memahami kerakter kelompok ini, karena beliau
pernah berhadapan dengan mereka di saat Khalifah Utsman Masih hidup.
“Telah keluar kepadamu sekelompok penduduk Kufah, untuk membuat fitnah,
hadapilah mereka. Jika mereka burbuat baik-baik terimalah, akan tetapi
jika mereka melemahkanmu, maka kembalikan ke Kufah”, pesan Utsman kepada
Muawiyah, sebagaimana dicatat dalam Tarikh At Thabari (5/138).
Benar adanya, mereka datang kepada Muawiyah, dan meminta agar
Muawiyah melepas jabatannya. Muawiyah menjawab,”Seandainya ada orang
lain yang lebih mampu daripada saya, maka saya dan yang lainnya tidak
menduduki jabatan ini. Jangan tergesa-gesa, karena hal ini mirip apa
yang diharapkan syetan”. Kamudian mereka dikeluarkan dari Syam.
Dan setelah wafatnya Utsman, kelompok inilah yang pertama-tama
membaiat Ali bin Abi Thalib. Rupanya, kesegeraan mereka melakukan
bai’at, memiliki misi tersembunyi, yang perlahan-lahan tersingkap
setelah nanti berbagai peristiwa yang berkenaan dengan sahabat Ali bin
Abu Thalib dan Muawiyah terjadi.
Permulaan Perselisihan antara Ali dan Muawiyah
Sebenarnya tidak ada perselisihan antara kedua sahabat Rasulullah sebelumnya, akan tetapi yang ada malah perselisihan antara pengikut Abdullah bin Saba’ dan Muawiyah, disebabkan Muawiyah amat getol menyerukan dilakukannya hukuman hadd kepada mereka, atas terbunuhnya Utsman dan beliau yang membuka berhasil membuka kedok kelompok pembuat makar tersebut.
Sebenarnya tidak ada perselisihan antara kedua sahabat Rasulullah sebelumnya, akan tetapi yang ada malah perselisihan antara pengikut Abdullah bin Saba’ dan Muawiyah, disebabkan Muawiyah amat getol menyerukan dilakukannya hukuman hadd kepada mereka, atas terbunuhnya Utsman dan beliau yang membuka berhasil membuka kedok kelompok pembuat makar tersebut.
Dan kelompok ini sudah bergabung dalam barisan Ali bin Abi Thalib.
Sehingga Dr. Hamid Muhammad Khalifah, dalam buku beliau Al Inshaf
(hal.418), menyebutkan,”Sesungguhnya sebab-sebab yang membuat
meruncingnya hubungan Ali dan Muawiyah adalah adanya para ”provokator”
dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang ingin memerangi
Muawiyah.”
Perselisihan dimulai setelah Ali memutuskan untuk mengganti Muawiyah
dengan sahabat Sahl bin Hunaif. Pengganti yang telah ditunjuk tersebut
bersama rombongan pergi Syam. Sesampai di wilayah Tabuk, sejumlah
pasukan Muawiyah menemui rombongan itu dan meminta mereka kembali.
Mengetahui demikian, Ali mengirim surat kepada gubernur Syam itu, akan
tetapi surat itu tidak dibalas, hingga tiga bulan setelah syahidnya
Utsman.
Sampai akhirnya Muawiyah mengutus Qubishah Al Abasi, untuk
menyampaikan kepada Amir Al Mukminin Ali, bahwa alasan penduduk Syam
tidak melakukan baiat, karena mereka meminta agar pelaku atas pembunuhan
Utsman diadili. Ali pun mengatakan,”Ya Allah sesungguhnya saya berlepas
diri kepada Engkau dari darah Utsman,”
Setelah Qubishah keluar, kaum Saba’yah mengatakan,”Ini anjing, ini
adalah utusan anjing, bunuhlah ia!” Saat itu kelompok ini mengerumuni
Qubishah, akan tetapi Bani Mudhar mencegah mereka, sebagaimana disebut
dalam Tarikh At Thabari (5/215).
Periwayatan ini menjukkan bahwa kaum Saba’iyah memang masih
menyimpan dendam, karena gagal menjatuhkan Muawiyah dari jabatannya
sebagai gubernur Syam untuk ke sekian kalinya.
Di saat Ali berada di Bashrah saat terjadi perang Jamal, disebutkan
Imam Al Bukhari dalam At Tarikh As Saghir (1/102), bahwa Imam Ali berada
di wilayah itu hanya satu bulan, dan tidak berniat keluar menuju Syam,
kecuali setelah ada desakan dari Saba’iyah.
Dalam At Tarikh At Thabari (5/282) disebutkan,”Saba’iyah inginkan Ali
segera meninggalkan Bashrah, hingga mereka melakukan perjalanan tanpa
meminta izin kepadanya. Sebab itulah Ali mengikuti jejak mereka, guna
menyingkap apa kemauan mereka, dan itulah yang sebenarnya yang mereka
inginkan.”
Al Asytar dan Ali bin Abi Thalib
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib ada kelompok ”provokator”, salah satu dari pemimpin mereka adalah seorang laki-laki yang bernama Al Asytar An Nakhai. Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa sebelum meninggalkan Bashrah, Ali bin Abi Thalib menunjuk Ibnu Abbas untuk ”memegang” wilayah itu. Al Asytar An Nakhai tidak menerima keputusan Amir Al Mukminin tersebut, dengan penuh amarah ia pergi meninggalkan beliau, sebagaimana tertulis dalam Tarikh At Thabari (5/239).
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib ada kelompok ”provokator”, salah satu dari pemimpin mereka adalah seorang laki-laki yang bernama Al Asytar An Nakhai. Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa sebelum meninggalkan Bashrah, Ali bin Abi Thalib menunjuk Ibnu Abbas untuk ”memegang” wilayah itu. Al Asytar An Nakhai tidak menerima keputusan Amir Al Mukminin tersebut, dengan penuh amarah ia pergi meninggalkan beliau, sebagaimana tertulis dalam Tarikh At Thabari (5/239).
Bahkan kelompok Al Asytar sempat juga mengancam Ali bin Abi Thalib,
sebagaimana tertulis dalam Tarikh At Thabari (6/40), tatkalah salah satu
sahabat Al Asytar, Al Asy’as bin Qais berkata kepada beliau,”Apakah
kita hanya memperhatikan hukuman Al Asytar?” Amir Al Mukminin
menjawab,”Apa hukumannya?” Al Asy’as berkata,”Hukumannya adalah
timbulnya peperangan antara kita.” Beliau menjawab,”Tidakkah ada yang
membakar bumi, kecuali Al Asytar?”
Sesampainya di Kufah, Amir Al Mukminin mengutus sahabat Jarir bin
Abdullah Al Bajali kepada Muawiyah, untuk kembali menyeru agar Muawiyah
melakukan baiat, dan memberi kabar bahwa kalangan Muhajirin dan Anshar
telah membaiatnya, sebagaimana disebut dalam Al Bidayah wa An Nihayah
(7/265).
Sekali lagi, Al Asytar tidak menyukai sikap yang diambil oleh Amir Al
Mukminin ini, dikarenakan kemulyaan akhlak yang dimiliki Jarir. Utusan
ini kembali ke Kufah dengan memberi kabar, bahwa Muawiyah enggan
melakukan baiat, dikarenakan belum ditegakkan hukum hadd kepada si
pembunuh Utsman. Jika ditegakkan hadd, maka beliau bersedia melakukan
baiat.
Mendengar penuturan Jarir, Al Asytar mengatakan kepada Amirul
Mukminin, ”Bukankah saya telah melarangmu untuk mengutus Jarir? Kalau
engkau mengutusku, maka Muawiyah tidak akan membuka pintu, kecuali aku
yang menutupnya.”
Mendengar ucapan Al Asytar, Jarir membalas,”Kalau engkau yang datang, mereka akan membunuhmu, disebabkan terbunuhnya Utsman.”
Al Asytar tidak mau kalah, ”Kalau Amir Al Mukminin mematuhiku, maka
ia akan mengurungmu, beserta orang-orang sepertimu, hingga perkara ini
menjadi lebih baik.”. Jarir marah, hingga belau mememutukan untuk keluar
dari Kufah, menuju Firqisiya’ wilayah yang pernah beliau pimpin saat
menjadi gubernur di masa Utsman, kisah ini disebutkan dalam kitab Al
Bidayah wa An Nihayah (7/294).
Sikap buruk yang membuat sahabat Jarir keluar di atas menunjukkn
bahwa para pembesar pembuat fitnah sudah berada dalam tubuh
kekhalifahan. Dan peristiwa ini juga menunjukkan bagaiamana usaha mereka
untuk selalu menggagalkan usaha perdamaian.
Bukan Perebutan Kursi Kekuasaan
Ada pihak yang menilai bahwa perang Shiffin terjadi karena perebutan kekuasaan antara Ali dan Muawiyah, sayang sekali pandangan ini tidak memiliki dasar kuat
Ada pihak yang menilai bahwa perang Shiffin terjadi karena perebutan kekuasaan antara Ali dan Muawiyah, sayang sekali pandangan ini tidak memiliki dasar kuat
Setelah kembalinya utusan Amir Al Mukminin dari Syam, dan gamblangnya
pendirian penduduk Syam, bahwa mereka enggan melakukan baiat, kecuali
dilaksanakan hukuman hadd atas pelaku pembunuhan Utsman. Maka,
eksistensi kelompok Saba’iyah semakin terncam, karena merekalah yang
berdiri di balik peristiwa tragis itu.
Tidak ada cara lain bagi mereka, kacuali mendesak Amirul Mukminin
untuk menghadapi Muawiyah. Disebutkan dalam Al Bidayah wa An Nihayah
(8/10),”Maka para tokoh yang secara langsung terlibat pembunuhan
Utsman,yang berada di sekitar Ali bin Abi Thalib, memberi saran, agar
beliau memecat Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur Syam.”
Saat itu Amir Al Mukminin pun melihat bahwa pelaksanaan hadd tidak
bisa dilakukan kacuali setelah baiat bisa diselesaikan, apalagi para
pelakunya berkeliaran di sekitar beliau dan jumlah mereka pun banyak,
ini semakin menyulitkan posisi beliau.
Mayoritas Umat Tak Menghendaki Perang
Sudah maklum, bahwa umat Islam di masa peperangan Siffin adalah generasi yang amat dekat dengan masa Rasulullah (SAW), dimana mereka amat memahami, bagaimana berinteraksi dengan sesama Muslim, hingga mayoritas umat Islam, baik di Syam maupun Kufah, bahkan Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib sebenarnya sama-sama menghindari adanya pertumpahan darah.Hal ini bisa dilihat, bagaimana usaha mereka dalam berunding, menghindari peperangan dan usaha penduduk Kufah yang menghalangi jalannya pasukan Khalifah menuju Syam.
Sudah maklum, bahwa umat Islam di masa peperangan Siffin adalah generasi yang amat dekat dengan masa Rasulullah (SAW), dimana mereka amat memahami, bagaimana berinteraksi dengan sesama Muslim, hingga mayoritas umat Islam, baik di Syam maupun Kufah, bahkan Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib sebenarnya sama-sama menghindari adanya pertumpahan darah.Hal ini bisa dilihat, bagaimana usaha mereka dalam berunding, menghindari peperangan dan usaha penduduk Kufah yang menghalangi jalannya pasukan Khalifah menuju Syam.
Diriwayatkan dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/267), bahwa Imam Ali
telah mengirimkan pasukan pembuka, yang berjumlah 8 ribu tentara.
Pasukan ini menuju Syam dengan melewati sisi kanan sungai Eufrat,
sedangkan pasukan Khalifah melewat sisi kirinya. Karena khawatir adanya
serangan dari Muawiyah, disebabkan sedikitnya jumlah mereka, maka
pasukan ini berancana bergabung dengan pasukan Khalifah di seberang,
dengan melalui penyeberangan di wilayah ‘Anat, akan tetapi apa yang
terjadi, penduduk kota wilayah itu menghalangi mereka. Tidak bisa
melalui ‘Anat, pasukan hendak melalui penyeberangan lainnya, yang berada
di wilayah Hiit, akan tetapi, seperti yang sudah-sudah, mereka
dihalangi oleh penduduk setempat. Akhirnya, mereka terlambat, dan
bertemu dengan pasukan Ali yang sudah berada di depan mereka.
Selanjutnya penduduk Qirqisiya’ menghalangi pasukan Khalifah Ali bin
Abi Thalib itu, sedangkan penduduk Ar Riqah mengumpulkan seluruh perahu
mereka dan enggan membantu pasukan itu menyeberang menuju Shiffin,
hingga mereka memutuskan untuk menyeberang di wilayah Manbaj.
Sikap Khalifah Ali yang lemah lembut terhadap mereka yang menghalangi
perjalanan pasukannya menunjukkan bahwa tujuan utama bukanlah
menumpahkan darah, akan tetapi melakukan ishlah. Hal ini berbeda dengan
yang dilakukan Al Asytar, yang juga berada dalam barisan yang sama,
terhadap mereka yang enggan membantu penyeberangan ia mengancam”Jika
tidak kalian lakukan, aku benar-benar akan membunuh para laki-laki,
merusak tanah atau mengambil harta.” Riwayat ini termaktub dalam Tarikh
At Thabari (5/229).
Awal mulanya, Khalifah masih mempercayai Al Asytar, karena tidak
menilai, bahwa pria itu adalah salah satu pembunuh Utsman, walau ia
adalah salah satu pemimpin Khawarij. Akan tetapi ada indikasi bahwa
akhirnya beliau merubah pandangan tersebut. Diceritakan Al Hakim dalam
Al Mustadrak (3/107), bahwa saat itu, penduduk Nakha’ berkumpul di dalam
rumah Al Asytar. Ali bin Abi Thalib menyeru kepada mereka,”Apakah di
dalam rumah hanya ada Al Asytar?” Mereka menjawab, ”tidak.” Khalifah
kembali mengatakan,”Umat ini bersandar kepada kaluarga yang paling
baik, akan tetapi mereka telah membunuhnya (Utsman). Sesungguhnya kami
memerangi Bashrah karena baiat yang kami takwilkan, sedangkan kalian
bergerak menuju sebah kaum yang kami tidak dibaiat oleh mereka (Syam),
handaklah setiap orang melihat, dimana pedang harus diletakkan.”
Dialog di atas menunjukkan bahwa Amirul Mukminin telah memperingatkan
Al Asytar, mengenai keputusannya untuk pergi ke Shiffin, dan
menjelaskan bahwa tidak perlu dilakukan pertempuran di sebuah wilayah
yang tidak terikat oleh Baiat, semisal Syam.
Niatan Amirul Mukminin untuk tidak mengutamakan kekuatan senjata
didukung dengan riwayat yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah
wa An Nihayah (8/127) yang menyebutkan, bahwa Khalifah Ali mengirim
utusan ke Damaskus untuk membawa pesan kepada penduduk Syam, bahwa
beliau telah berdiri di atas rakyat Iraq untuk ingin mengetahui ketaatan
penduduk Syam terhadap Muawiyah. Ketika perkara itu sampai kepada
Muawiyah, beliau naik mimbar masjid dan mengatakan kepada
jama’ah,”Sesungguhnya Ali telah berdiri di penduduk Iraq untuk kalian.
Apa pendapat kalian?” Para jama’ah tidak berkata-kata, hingga seorang
ada yang mengatakan,”Anda yang berfikir, kami yang melaksanakan.”
Akhirnya Muawiyah memerintahkan agar mereka bersiap-siap membentuk
pasukan menjadi 3 bagian.
Setelah itu, kembalilah utusan menuju Khalifah Ali bin Abi Thalib
lalu mengabarkan, apa yang terjadi di Syam. Ali akhirnya naik mimbar dan
mengatakan kepada jama’ah,”Muawiyah telah mengumpulkan pasukan untuk
memerangi kalian, apa pendapat kalian?” Semua hadirin terheran dan
berbiacara satu sama lain. Khalifah Ali akhirnya turun dari mimbar,
dengan mengatakan,”la haula wa la quwwata ila billah.”
Kenapa Ali Tak Segera Menghukum Para Pembunuh Utsman?
Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/242) setelah menjelaskan, bahwa kaum yang ikut serta membunuh Utsman termasuk kelompok awal yang ikut mambaiat Ali bin Abi Thalib, beliau mengatakan,”Padahal Ali membenci mereka, dan berusaha menghindar dari kelompok tersebut serta sangat menginginkan agar beliau bisa menundukkan mereka, hingga hak Allah bisa ditegakkan hak Allah (yakni hukuman hadd).”
Kenapa Ali Tak Segera Menghukum Para Pembunuh Utsman?
Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/242) setelah menjelaskan, bahwa kaum yang ikut serta membunuh Utsman termasuk kelompok awal yang ikut mambaiat Ali bin Abi Thalib, beliau mengatakan,”Padahal Ali membenci mereka, dan berusaha menghindar dari kelompok tersebut serta sangat menginginkan agar beliau bisa menundukkan mereka, hingga hak Allah bisa ditegakkan hak Allah (yakni hukuman hadd).”
Disebutkan juga oleh Ibnu Katsir bahwa, setelah Ali dibaiat, para
tokoh sahabat beserta Thalhah dan Zubair menemui beliau dan meminta agar
dilaksanakan hukuman kepada para pembunuh Utsman. Ali menyatakan udzur
untuk melaksanakan hal itu di waktu itu, karena kekuatan mereka yang
besar dan memiliki pendukung. Bahkan Ali meminta kepada Zubair untuk
memerintah Kufah dan Thalah untuk memerintah Bashrah, dan beliau siap
membekali keduanya dengan pasukan, agar bisa memperkuat dalam menghadapi
kekuatan kaum Khawarij.
Akhirnya, para sahabat, termasuk Thalhah dan Zubair mendatangi lagi
Ali, setelah menunggu beberapa waktu dan melihat Khalifah belum
melakukan ”apa-apa” untuk menghukum kaum Khawarij. ”Wahai saudaraku,
bukannya saya tidak mengerti masalah itu, akan tetapi apa yang mampu
saya perbuat atas sebuah kaum yang menguasai kita akan tetapi kita tidak
menguasa mereka? Mereka berada di sekitar kalian, sesuka hati mereka,
apakah kalian melihat ada peluang untuk melakukan hal yang kalian
inginkan?” Mereka menjawab,”Tidak”. Ali mengatakan,”Tidak, demi Allah
saya tidak melihat, kacuali apa yang telah kalian lihat insyaallah.”
Jelas, dari penjelasan di atas, tidak diragukan lagi, Ali sendiri
berkeinginan untuk menegakkan hadd kepada para pembunuh Utsman, tapi
beliau merasa kesulitan, karena mereka sendiri berada di sekeliling
khalifah, dan kekuatan mereka tidak bisa diremehkan, hingga para sahabat
pun mengakui hal tersebut.
Upaya Perdamaian di Shiffin
Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Shiffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan, dengan mengharap pertempuran bisa terhindar.
Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Shiffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan, dengan mengharap pertempuran bisa terhindar.
Dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/272) disebutkan bahwa Abu Muslim Al
Khaulani beserta beberapa orang mendatangi Muawiyah dengan
mengatakan,”Apakah engkau melawan Ali ataukah engkau juga sepertinya?”
Muawiyah menjawab, ”Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengatahui
kalau ia (Ali) lebih baik dariku, lebih utama dan lebih berhak dalam
masalah ini (kekhalifahan) daripada aku. Akan tetapi bukanlah kalian
mengetahui bahwa Utsman terbunuh dengan keadaan terdhalimi, sedangkan
saya adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepadanya,
agar ia menyerahkan pembunuhnya, maka saya menyerahkan persoalan ini
kepadanya.
Diriwayat yang lain juga disebutkan, bahwa Abu Darda’ dan Abu Umamah
mendatangi Muawiyah, dengan isi percakapan yang hampir sama dengan
riwayat sebelumnya. Setelah itu keduanya kembali kepada Ali bin Abi
Thalib, dan beliau mengatakan,”Mereka adalah orang-orang yang kalian
maksudkan.” Maka keluarlah banyak orang, dan mengatakan,”Kami semua yang
telah membunuh Utsman, siapa yang berkehendak maka silahkan dia
melemparkan kami.”
Dalam Minhaj As Sunnah (4/384) juga dinukil bagaimana sikap para
pendukung Muawiyah, mangapa mereka tidak membaiat Ali.”Kami jika
membaiat Ali, maka pasukannya akan mendhalimi kami, sabagaimana mereka
mendhalimi Utsman, sedangkan Ali tidak mampu melakukan pembelaan
terhadap kami.”
Dari periwayatan di atas semakin jelas, bahwa memang kedua belah
pihak, baik Ali dan Muawiyah tidak berselisih mengenai jabatan
kekhalifahan, dan keduanya memang tidak bermaksud menyerang satu sama
lain, kecuali pihak pengikut Saba’iyah yang berada di barisan Amirul
Mukminin, yang selalu menginginkan adanya konflik antara Ali dan
Muawiyah. Dan Muawiyah tetap berdiri tegak guna melawan para pengiku
Abdullah bin Saba’ yang berada dalam pasukan Khalifah.
Khawarij yang Berbalik ”Menikam” Khalifah
Berbagai upaya menghentikan peperangan dilakukan kedua belah pihak, tapi kaum Saba’iyah terus berusaha memantiknya
Para utusan terus melakukan perundingan, dan pasukan kedua belah
pihak sama-sama menahan diri untuk melakukan serangan, hingga
berakhirnya bulan-bulan haram di tahun itu (37 H). Pasukan Kufah menyeru
kepada pasukan Syam, ”Amir Al Mukminin telah menyeru kepada kalian,
aku telah memberi tenggang waktu untuk kalian, agar kembali kepada al
haq, dan saya telah menegakkan atas kalian hujah, akan tetapi kalian
tidak menjawab…”
Pasukan Syam menjambut seruan itu, dengan mempersiapkan diri di
shafnya masing-masing. Pada hari Rabu, tanggal 7 pada bulan Safar,
pertempuran berlangsung pada hari Rabu, Kamis, Jumat serta malam Sabtu.
Dalam Al Aqdu Al Farid (4/3140) disebutkan bahwa kdua pihak bersepakat
bahwa mereka yang terluka harus dibiarkan, begitu pula mereka yang
melarikan diri tidak boleh dikejar, mereka yang meletakkan senjata akan
aman, tidak boleh mengambil benda milik mereka yang meninggal, serta
mereka mendoakan dan menshalati jenazah yang berada di antara kedua
belah pihak.
Mayoritas sahabat tidak ikut serta dalam pertempuran ini. Pada saat
itu jumlah mereka sekitar 10 ribu, akan tetapi yang ikut serta tidak
lebih dari 30 sahabat saja, sebagaimana riwayat yang disebutkan dalam
Minhaj As Sunnah (6/237).
Riwayat mengenai jumlah pasukan yang terbunuh di kedua belah pihak
berbeda satu sama lain, akan tetapi Ibnu Katsir menyebutkan dalam Al
Bidayah wa An Nihayah (7/288) bahwa pasukan Kufah berjumlah 120 ribu
orang, terbunuh 40 ribu, sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan
yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang.
Terbunuhnya Amar bin Yasir
Peristiwa terbunuhnya sahabat Amar bin Yasir dalam pertempuran Shiffin memberi pengaruh amat besar bagi kedua belah pihak, dimana sebelumnya Rasulullah (SAW) telah berkata kepada Amar, bahwa ia tidak meninggal, kecuali terbunuh di antara dua kelompok orang-orang mukmin, sebagaimana disebutkan Al Bukhari dalam Tarikh As Saghir (1/104).
Terbunuhnya Amar bin Yasir
Peristiwa terbunuhnya sahabat Amar bin Yasir dalam pertempuran Shiffin memberi pengaruh amat besar bagi kedua belah pihak, dimana sebelumnya Rasulullah (SAW) telah berkata kepada Amar, bahwa ia tidak meninggal, kecuali terbunuh di antara dua kelompok orang-orang mukmin, sebagaimana disebutkan Al Bukhari dalam Tarikh As Saghir (1/104).
Sedangkan Amru bin Ash, sahabat yang bergabung dalam barisan Muawiyah
pernah mendengar bahwa Rasulullah bersabda mengenai Amar bin Yasir,
sebagaimana termaktub dalam Al Majma’ Az Zawaid (7/244) ”Sesungguhnya
orang yang membunuh dan mengambil hartanya (sebagai ghanimah) akan masuk
neraka.” Lalu ada yang mengatakan kepadanya,”Sesungguhnya engkau yang
memeranginya!” Amru bin Ash menjawab,”Sesungguhnya yang disabdakan
adalah pembunuh dan perampas hartanya.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa memang kedua belah pihak mengetahui
keutamaan masing, masing dan tidak ada kesengajaan untuk berniat saling
membunuh.
Meninggikan Mushaf
Bisa dikatakan bahwa peristiwa penting dalam perang Shiffin adalah pangangkatan tinggi-tinggi mushaf Al Qur`an, hingga pertempuran itu berakhir. Disebutkan dalam beberapa periwayatan bahwa ketika pertempuran berlangsung amat sengit banyak para ulama yang menyeru, baik dalam barisan pasukan Syam maupun Kuffah,”Jika kita besok baru berhenti (bertenpur) maka Arab akan sirna, dan hilangnya kehormatan…”
Bisa dikatakan bahwa peristiwa penting dalam perang Shiffin adalah pangangkatan tinggi-tinggi mushaf Al Qur`an, hingga pertempuran itu berakhir. Disebutkan dalam beberapa periwayatan bahwa ketika pertempuran berlangsung amat sengit banyak para ulama yang menyeru, baik dalam barisan pasukan Syam maupun Kuffah,”Jika kita besok baru berhenti (bertenpur) maka Arab akan sirna, dan hilangnya kehormatan…”
Muawiyah yang juga mendengar khutbah itu membenarkan,”Benar, demi
Rabb Ka’bah, jika kita masih berperang esok, maka Romawi akan mengincar
para wanita dan keturunan kita. Sedangkan Persia akan mengincar para
wanita dan ketururnan Iraq. Ikatlah mushaf-mushaf di ujung tombak
kalian.”
Maka saat itu, pasukan Syam menyeru,”Wahai pasukan Iraq diantara kami
dan kalian adalah Kitabullah!” Muawiyah memerintahkan seorang utusan
untuk menghadap kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, ”Iya, diantara kami
dan kalian adalah Kitabullah, dan kami telah mendahulukan hal itu.”
Jawab beliau.
Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi sebelumnya, para pengikut
Abdullah bin Saba’ enggan menerima usulan untuk berdamai, mereka ingin
agar Khalifah Ali meneruskan pertempuran. Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah
dalam Al Mushannaf (8/336) bahwa kaum Khawarij mendatangi Ali bin Abi
Thalib, dengan pedang di atas pundak mereka,”Wahai Amir Al Mukminin,
tidakkah sebaiknya kita menyongsong mereka, hingga Allah memberi
keputusan antara kita dan mereka.” Usulan ini ditentang keras oleh
sahabat Sahl bin Hunaif Al Anshari. ”Tuduhlah diri kalian! Kami telah
bersama Rasulullah (SAW) saat peristiwa Hudaibiyah. Kalau sendainya kami
berpendapat akan berperang, maka kami perangi (tapi kenyataannya mereka
tidak berperang)”
Sahl juga menjelaskan bahwa setelah perjanjian damai dengan kaum
musyrikin itu turunlah surat Al Fath kepada Rasulullah (SAW). Ali bin
Abi Thalib pun menyambut pendapat Sahl, ”Wahai manusia, ini adalah fath
(hari pembebasan).” Seru Ali bin Abi Thalib, akhirnya pertempuran itu
pun berakhir.
Peristiwa Tahkim
Tahkim adalah penunjukkan dua pihak yang berselisih terhadap seseorang yang adil, dengan tujuan agar memberi keputusan terhadap dua pihak tersebut. Kedua pihak yang terlibat pertempuran Shiffin, yakni Ali dan Muawiyah telah sepakat memilih Abu Musa Al Asy’ari untuk menjadi penengah. Sesuai dengan yang ditulis oleh Ibnu Hibban dalam At Tsiqat (2/293), hasil tahkim berisi, bahwa Ali bin Abi Thalib ditetapkan membawahi wilayah Iraq dan penduduknya, sedangkan Muawiyah ditetapkan membawahi wilayah Syam beserta para penduduknya, tidak ada penggunaan senjata, dan hal ini berlaku dalm satu tahun. Jika sudah melewati masanya, kedua belah pihak bisa menolaknya, atau bisa memperpanjang. Dari kandungan tersebut, bisa disimpulkan bahwa Muawiyah tidak ada keharusan untuk membaiat Ali, bagitu juga Ali, tidak ada keharusan untuk menghukum pembunuh Utsman.
Tahkim adalah penunjukkan dua pihak yang berselisih terhadap seseorang yang adil, dengan tujuan agar memberi keputusan terhadap dua pihak tersebut. Kedua pihak yang terlibat pertempuran Shiffin, yakni Ali dan Muawiyah telah sepakat memilih Abu Musa Al Asy’ari untuk menjadi penengah. Sesuai dengan yang ditulis oleh Ibnu Hibban dalam At Tsiqat (2/293), hasil tahkim berisi, bahwa Ali bin Abi Thalib ditetapkan membawahi wilayah Iraq dan penduduknya, sedangkan Muawiyah ditetapkan membawahi wilayah Syam beserta para penduduknya, tidak ada penggunaan senjata, dan hal ini berlaku dalm satu tahun. Jika sudah melewati masanya, kedua belah pihak bisa menolaknya, atau bisa memperpanjang. Dari kandungan tersebut, bisa disimpulkan bahwa Muawiyah tidak ada keharusan untuk membaiat Ali, bagitu juga Ali, tidak ada keharusan untuk menghukum pembunuh Utsman.
Dengan demikian, tidak ada lagi peperangan antara Syam dan Iraq,
Muawiyah tetap tidak membaiat Ali, dan Ali pun tetap tidak menghukum
para pembunuh Utsman. Dan konflik pun bergeser antara Khalifah Ali
dengan Kaum khawarij, yang semula menjadi pendukung Amir Al Mukminin,
yang tidak menyukai perdamaian antara Iraq dan Syam. Lantas mereka
mengisukan bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak setuju dengan hasil
yang telah diputuskan.Hingga akhirnya beliau menegaskan,”Barang siapa
mengira bahwa aku tidak setuju dengan hasil tahkim, maka ia telah
berbohong, barang siapa berfikiran demikian maka ia telah sesat.
Akhirnya kaum Khawarij keluar dari masjid, dengan mengatakan,”la hukma
illa lillah”, atau tidak ada hukum selain hukum Allah. Sehingga ada yang
mengatakan kepada Khalifah,”Mereka telah keluar dari ketaatan
terhadapmu.”Saya tidak akan memerangi mereka, hingga mereka memerangi
kami, dan mereka akan melakukannya.” Hal ini disebutkan Ibnu Abdi Rabbih
dalam Al Aqdu Al Farid (2/218).
Gerakan Khawarij tidak berhenti sampai di sini, mereka masih tetap
bernafsu tidak hanya membunuh Muawiyah, tapi membunuh Khalifah Ali bin
Abi Thalib serta Amru bin Ash. Ali bin Abi Thalib menjadi incaran,
karena mereka merasa bahwa kedok mereka sudah terbuka secara sempurna
dihadapan Khalifah, dan tidak ada yang bisa ditutupi dari gerakan
mareka. Dan pembunuhan itu masih belum sempurna, kacuali jika
menyertakan Muawiyah dalam terget serupa. Sedangkan Amru bin Ash ikut
menjadi target, karena beliau adalah musuh pertama kelompok ini, di saat
beliau berkuasa di Mesir, sehingga jika beliau tidak dibunuh, maka
keberadaan beliau juga berpotensi untuk mengancam gerakan kelompok ini,
beliau tidak ada bedanya dengan Muawiyah.
Ditugaskan tiga orang, untuk membunuh tiga sahabt mulia itu, Ibnu
Muljim, sahabat dekat Ibnu Saba’ dari kalangan Khawarij menyerang Ali
bin Abi Thalib di malam ke 17 dari bulan Ramadhan tahun 40 H, dengan
menebaskan pedang, hingga mengenai kening beliau. Setelah bertahan
selama dua hari, Khalifah Ali bin Abi Thalib akhirnya wafat. Sedangkan
Al Burk bin Abdullah Al Khariji, yang bertugas membunuh Muawiyah malah
terbunuh terlebih dahulu oleh beliau, dengan pedangnya sendiri.
Sedangkan Amru bin Bukair yang ditugaskan membunuh Amru bin Ash, malah
membunuh salah satu petugas, yang disangkanya sasarannya, hingga kedua
sahabat itu selamat dari pembunuhan.
Inilah peristiwa beruntun yang dilakukan kelompok Abdullah bin Sabba’
terhadap para sahabat mulia, hingga terjadi fitnah besar yang
menyebabkan bertumpahnya banyak darah. Mudah-mudahan umat Islam bisa
mengambil ibrah dari rentetan peristiwa ini. Allahu’alam bishawab.
Sumber : http://almanar.wordpress.com/2009/07/16/memandang-perang-shiffin-bukan-dari-mata-pendengki/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar